TACHISAKI: AKIHIKO’S SIDE STORY
BY : AZURA
Mata biru itu menatapku tajam. Aku tidak dapat memalingkan pandanganku dari tatapan mata itu yang siap untuk membunuhku kapan pun. Dia menghunuskan pedangnya ke arah leherku tanpa rasa belas kasihan sedikit pun. Seolah ada dendam yang begitu besar dalam dirinya.
“Hei kau, makhluk menyedihkan yang terikat dalam dunia fana yang membutakan. Apakah kau siap untuk mati?” Tanyanya dingin. Aku memejamkan mataku sejenak sambil tersenyum sinis dan tertawa kecil. Dia yang merasa bahwa aku main-main dengan ancamannya mengarahkan pedangnya lebih dekat lagi dengan leherku. Tepat di bawah daguku, aku merasakan dinginnya pedang itu. Aku sadar bahwa ini telah menjadi konsekuensi atas apa yang kulakukan pada kerajaanku. Tetapi walau begitu, aku masih merasakan rasa takut dalam diriku.
“Turunkan pedangmu. Bawa dia kembali ke kerajaan. Beri dia satu kesempatan lagi. Dan kita lihat apa yang akan pengadilan berikan atas apa yang telah dilakukannya.” Ucap seorang lelaki dengan bijak dan tenang. Dan keajaiban terjadi. Orang-orang tunduk padanya. Aku muak melihat sikap lelaki itu yang berlagak dewasa dan seolah-olah sudah mampu mengatur tata kerajaan.
Dia yang tadinya menghunuskan pedang ke arahku pun juga tunduk kepadanya. Awalnya dia ragu apakah itu adalah tindakan yang benar, namun dengan mantap dia menurunkan –Tidak! Dia tidak hanya menurunkan pedangnya. Namun menjatuhkannya di depanku. Pada detik itu, aku melihat kesempatan besar untuk bebas. “Lagi pula, tali yang mengikat kedua tanganku ini sedikit longgar.” Pikirku. Dua detik kemudian, segalanya telah kuubah.
***
Hari yang cerah di kerajaan Arnulf hari itu cukup ramai dengan tersebarnya berita bahwa sang ratu akan segera melahirkan. Semua warga kerajaan menunggu di depan kastil dengan cemas. Apakah bayi itu laki-laki? Ataukah perempuan? Apakah bayi itu mampu memimpin kerajaan? Atau hanya akan menjadi anak keturunan bangsawan yang hanya bisa duduk memerintah pelayannya untuk melakukan segala hal untuknya?
Hari itu, aku merasa semua orang terlalu berlebihan. Apa spesialnya memiliki seorang adik? Apakah nasibku akan berubah ketika aku memiliki seorang adik? Semua kenalan bangsawan menyempatkan diri untuk mencium keningku atau setidaknya menyalami tanganku dan mengatakan bahwa aku beruntung akan segera memiliki seorang adik. Aku pun mulai berpikir bahwa mungkin ini pertama kalinya dalam sejarah keluargaku memiliki dua orang anak.
Beberapa detik setelah aku memikirkan hal itu, suara jeritan wanita terdengar begitu keras. Jeritan itu terdengar seperti jeritan kesakitan yang begitu mendalam. Seperti jeritan seseorang yang jiwanya sedang terbelah. Dan setelah jeritan itu berhenti, terdengarlah suara bayi menangis.
“Seorang laki-laki! Bayinya seorang laki-laki!” Teriak salah satu tabib yang keluar dari ruangan itu dengan celemek bersimbah darah. Semua orang berteriak bahagia. Bahkan ada yang sampai menangis juga. Salah seorang bidan memanggil namaku. Suasana hening seketika. Aku berjalan pelan dari tempat dudukku ke dalam ruangan itu.
Ruangan itu tidak terlalu besar, tetapi tidak kecil juga. Di ruangan itu terdapat satu ranjang, satu kursi, dua meja, satu pancuran, dan sebuah tanaman kecil yang terletak di sudut ruangan. Ibuku terbaring di atas ranjang sambil menggendong adikku. Di sebelahnya ada ayahku yang awalnya duduk di kursi, kemudian berdiri menatapku. Para bidan menyingkir memberikan jalan kepadaku agar bisa segera bertemu dengan adikku.
Ibuku menyuruhku duduk di sampingnya. Kemudian beliau menunjukkan wajah adikku kepadaku. Kuakui wajahnya memang manis. Matanya sipit seperti mata ibuku. Rambutnya coklat tua –hampir hitam seperti ayahku. Dan matanya berwarna merah seperti ayahku juga. Dia lebih banyak seperti ayahku. Dan orang-orang menganggap itu sebuah pertanda bahwa anak ini akan menjadi pemimpin yang hebat seperti ayahku. Padahal sebelumnya mereka selalu berkata bahwa akulah yang akan menjadi pemimpin yang hebat seperti ayahku. Orang-orang ini memang tidak pernah konsisten dengan ucapan mereka.
“Akihiko, coba gendong adikmu..” pinta ibuku dengan lembut. Aku adalah anak yang penurut, maka aku mencoba menggendong adik kecilku ini. Ibuku meletakkan adikku digendonganku. Kudekap tubuhnya yang begitu mungil dan lemah. Aku merasa bahwa anak ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan diriku.
Kemudian adikku menatapku. Aku balas menatapnya. Aku tersenyum kepadanya. Bukan senyuman sayang, melainkan senyuman sinis. Wajah adikku memerah. Kemudian dia menangis dengan keras dan kuat. Seolah dia ingin memberitahukan kepada orang-orang bahwa ada setan dalam diriku. Aku terkejut dan hampir membuatnya jatuh. Ayahku langsung menggendongnya dan mengembalikannya kepada ibuku. Adikku pun kembali terlelap dalam hangatnya dekapan ibuku.
“Jadi, siapa namanya?” tanyaku kepada ayahku. Ayah dan ibuku saling menatap. Dari wajah mereka aku bisa tahu bahwa mereka belum memikirkannya. Ayahku diam sejenak, kemudian berkata dengan mantap, “Tobi. Tobi Arnulf”
***
Tak kusangka ternyata Tobi tumbuh dengan cepat. Rasanya baru kemarin dia lahir, dan sekarang dia sudah berumur lima belas tahun. Aku merasa baru saja mengajarinya cara mengendarai kuda, dan sekarang dia sudah bisa mengalahkanku! Bagaimana bisa dia belajar begitu cepat?
“Hei, kak. Ayolah.. aku tahu kau bisa melakukan lebih dari itu. Jangan menahan diri karena aku adalah adikmu!” ucapnya sambil terus berlari dengan kuda hitamnya. Aku menertawakannya.
“Oh, kau pikir kuda hitam jelekmu itu bisa melawan Jeanett-ku? Ayo, Jeanett!” aku memacu kudaku. Tobi tertinggal. Aku masih memacu kudaku sambil menengok ke arahnya yang berada jauh di belakangku. Aku menertawakannya lebih puas. Namun dia terlihat cemas dan mencoba untuk membuatku berhenti. Kupikir itu hanya ancaman bodohnya yang ingin mengalahkanku. Dua detik kemudian.. BRAKK! Aku terjatuh dari kudaku karena kepalaku terbentur dahan pohon.
Aku memegangi dahiku yang terbentur cukup keras hingga membuat dahiku berubah warna menjadi kebiruan. Tobi dengan cepat langsung menghampiriku. Dia turun dari kudanya dan mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Aku berdiri sambil menutup mataku karena kesakitan. Ketika aku membuka mataku, ternyata Tobi menahan tawanya! Dasar tidak sopan!
“Hei! Jangan menertawakanku, bodoh!” ucapku menggertaknya. Tapi dia justru melepaskan tawanya dengan sangat puas.
“Aku sudah mencoba memperingatkanmu, kak. Kau malah menambah kecepatanmu.. Lihat Jeanett. Sekarang dia jadi kelelahan, kan? Ayo, ku antar kau kembali ke istana. Ku rasa dengan kondisimu sekarang ini kau belum bisa mengendarai kuda sampai minggu depan.” Ucap Tobi sambil tertawa.
“Bagaimana dengan Jeanett?” kataku mengkhawatirkan Jeanett. Tobi mendesah. Kemudian menarik tali Jeanett dan mengikatnya dengan tali di samping tubuh kudanya. “Dia akan ikut dengan kita. Kau tidak perlu khawatir.” Ucapnya. Aku mengangguk puas. Tobi naik ke atas kudanya dan mengulurkan tangannya untuk membantuku naik. Ketika aku naik ke atas kuda milik Tobi, datanglah seorang gadis dengan rambut coklat muda dikucir kuda bermata biru laut. Aku dan Tobi menatapnya penasaran.
“Maaf, permisi yang mulia pangeran.. saya diminta oleh sang Raja untuk membawa kuda milik yang mulia pangeran.” Ucapnya lembut. Kami diam untuk sejenak. Kemudian Tobi melepaskan tali kekang Jeanett dan menyerahkannya kepada gadis itu. Tetapi sebelum gadis itu mengambilnya, aku menahan tangan Tobi. Gadis itu terlihat kebingungan.
“Sudahlah, kak. Jika ayah yang memintanya, aku yakin tidak apa-apa..” kata Tobi. Aku masih tidak percaya padanya. “Lalu bagaimana ayah bisa melihatku terjatuh dan meminta dia membawa Jeanett-ku?” tanyaku.
“Yang mulia, bolehkah saya bicara?” sahut gadis itu. “Ya, tentu.” Jawab Tobi. “Suara dentuman keras dan erangan kesakitan anda, serta suara jeritan kaget kuda anda terdengar dari halaman kastil, tempat sang Raja sedang berdiri. Kemudian sang Raja meminta saya untuk membawa kuda anda karena beliau tahu anda akan mengendarai kuda bersama saudara anda.” Jelas gadis itu. Tobi menahan tawanya. Aku menatap Tobi kesal.
“Baiklah, bawa Jeanett-ku kembali ke kastil, dan jangan membuatnya kotor!” Pintaku. Gadis itu tersenyum, kemudian mengangguk. Aku dan Tobi berjalan dengan lambat karena kami berpikir bahwa gadis itu pasti akan menuntun Jeanett, tidak menaikinya. Namun ternyata kami salah. Ketika kami berjalan dengan santai dan lambat, gadis itu memacu Jeanett-ku dengan sangat cepat hingga kami tertinggal sangat jauh dalam sesaat.
“Tu.. tunggu, dia menaiki Jeanett-ku! Kenapa dia tidak mengatakannya padaku? Dan kenapa dia bisa begitu cepat?” sahutku. Tobi tertawa puas. “Kau dikalahkan oleh seorang gadis, kak!” ucapnya. “Kalahkan dia, Tobi! Kalahkan dia!” pintaku pada Tobi. Tobi mendesah, kemudian meng-iyakan.
Tobi memacu kuda hitamnya dengan sangat cepat, hingga kami berada tepat di sebelah gadis itu. Gadis itu melirik kami dan tersenyum kecil, kemudian memacu Jeanett-ku lebih cepat. “Hati-hati, nona. Kepalamu bisa terbentur jika kau secepat itu!” Teriak Tobi. “Terimakasih atas perhatiannya yang mulia!” Jawab gadis itu. “Ha. Ha. Kau sangat lucu Tobi.” Ucapku. “Ya, aku tahu itu!” sahut Tobi dengan girang.
Sesaat kemudian kami sudah sampai di kandang kuda. Dan gadis itu dapat mengalahkan kami. Dia menyentuh kepala Jeanett-ku dan menyuruhnya masuk ke dalam kandang. Tobi juga meminta kudanya untuk masuk ke dalam kandang. Kemudian dia mengantarkan kami sampai halaman depan kerajaan. Ayahku duduk di kursi taman dengan cemas. Begitu melihat kami bertiga datang, ayahku langsung terlihat lega.
“Terima kasih, kau telah melaksanakan tugasmu dengan baik.” Ucap ayahku pada gadis itu. Dia hanya tersenyum dan mengangguk. “Anak-anak, perkenalkan putri dari jendral tim inti militer, Azura Schatzi.” Ayahku memperkenalkan gadis itu. Dia membungkukkan badannya. “Hai!” ucap Tobi dengan riang. Gadis itu tersenyum.
“Jadi itukah mengapa kau bisa mengendarai kuda dengan sangat cepat, nona?” Tanyaku. “Ya. Bisa dibilang begitu. Aku dan ayahku sering menaiki kuda ketika umurku tujuh tahun.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Nona Schatzi akan melakukan pelatihan khusus agar dia bisa menjadi jenderal seperti ayahnya kelak. Itulah mengapa dia ada di sini. Dan karena aku sudah mendengar bahwa keahliannya berkuda sangat baik, aku memintanya untuk menjemput kudamu.” Sahut ayahku. Aku menatap ayahku kesal.
“Apakah selama pelatihannya ada waktu istirahat, ayah?” tanya Tobi. “Tentu saja ada, nak. Kami tidak mungkin membiarkannya berlatih siang-malam selama tiga minggu.” Jawab ayahku. Tobi tersenyum.
“Hei, kita bisa balapan kuda atau berlatih pedang bersama suatu saat, nona Schatzi.” Kata Tobi. “Kakakku sebenarnya sangat payah dalam hal ini.” Lanjutnya dengan suara yang lebih pelan. “Tolong panggil aku Azura saja, yang mulia. Dan ya, mungkin jika anda ada waktu kita bisa melakukan kegiatan itu.” jawab Azura. “Bagus! Aku akan mengatur jadwalnya sesuai dengan waktu istirahatmu.” Sahut Tobi. Azura tersenyum dan mengangguk seperti seorang pelayan yang sangat patuh dan setia kepada atasannya.
***
Kejadian tiga hari yang lalu membuatku merasa jauh dari Tobi. Dia lebih banyak “bermain” bersama Azura. Tapi sekarang aku jadi memiliki waktu lebih banyak untuk pergi ke perpustakaan yang berada di pusat kota. Biasanya aku ke perpustakaan bersama beberapa pengawal agar tidak ada yang mengganggu waktu membacaku dengan pertanyaan atau kegiatan aneh-aneh. Tetapi aku juga tidak mau pengawal yang selalu berada di sekitarku mengganggu waktu membacaku. Jadi aku memutuskan untuk menggunakan jubah hitamku dan mengendap-endap keluar dari istana untuk pergi ke perpustakaan sendirian. Untungnya, dikerajaan Arnulf banyak pengembara yang tidak ingin diketahui identitasnya. Dan mereka menggunakan jubah hitam untuk menutupi identitasnya. Jadi tidak ada yang heran dengan perilaku dan pakaianku.
Aku memasuki perpustakaan itu. Perpustakaan itu besar bertingkat dua dengan buku-buku yang lengkap. Di tengah ruangan terdapat meja panjang sebanyak dua puluh buah lengkap dengan kursinya. Aku duduk di kursi paling pojok di dekat jendela. Tempat itu adalah tempat favoritku ketika membaca.
Ketika aku asyik membaca, datanglah seorang gadis muda. Dia terlihat sangat manis. Aku awalnya tidak sadar bahwa dia duduk di sampingku karena tudung jubahku ini menghalangi pandangan. Namun ada sesuatu darinya yang mengusikku. Aku meliriknya sedikit. “Dia hanya salah satu gadis cantik di kerajaan ini saja.” Pikirku. Kemudian aku kembali membaca bukuku. Tetapi entah kenapa, aku masih penasaran dengan gadis ini. Aku tidak bisa berkonsentrasi pada buku yang aku baca. Keringat dingin bercucuran, dan hatiku berdebar begitu cepat. Aku memikirkan cara agar aku bisa melihat wajahnya.
Dan aku memutuskan untuk berpura-pura menengok ke arah pintu masuk, padahal niatnya aku menatap wajahnya secara utuh. Ketika aku menengok, secara spontan dia juga menengok ke arahku. Mata coklatnya menatapku. Bibir merah muda mungilnya tersenyum kecil. Kulitnya yang sangat putih terkena paparan sinar matahari yang berhasil melewati jendela. Dia bagaikan malaikat. Karena mata kami bertemu, aku langsung mengalihkan pandanganku kembali kepada bukuku. Gadis itu juga melakukan hal yang sama.
Dengan terburu-buru atau entahlah apa yang sebenarnya aku lakukan, aku mengambil salah satu buku dari tumpukan buku yang kuletakkan di atas meja. Bodohnya, aku mengambil buku di urutan bawah, jatuhlah semua buku yang berada di atas buku ini. Semua orang di perpustakaan dengan serempak menyuruhku untuk diam. Gadis yang berada di sampingku menahan tawanya dan segera membantuku membereskan buku-buku itu. Setelah semuanya beres, aku menunduk pada gadis itu dan langsung pergi ke luar perpustakaan.
Aku berlari menuju istana. Aku tidak mempedulikan tudungku yang terbuka lebar. Orang-orang yang aku lewati mulai terpana dan bersiap untuk membungkuk padaku. Tetapi aku melewati mereka dengan cepat. Aku hanya ingin segera menemui Tobi saat ini.
***
“Itu artinya kau jatuh cinta, kak.” Ucap Tobi setelah aku menceritakan kejadian di perpustakaan tadi. Mendengar kesimpulan Tobi, aku benar-benar terkejut. Bahkan aku hampir menyemburkan teh yang baru saja aku minum. Aku terbatuk-batuk beberapa saat dan kemudian membersihkan tenggorokanku dengan meminum segelas air putih.
“Jadi apa yang harus aku lakukan ketika aku jatuh cinta? Aku belum pernah membaca buku tentang hal ini. Ayah dan ibu juga tidak pernah memberitahuku.” Sahutku. Umurku sembilan belas tahun dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan ketika aku jatuh cinta. Hebat.
“Kalau boleh jujur, aku juga tidak tahu. Tetapi mungkin Nona Shizuka bisa memberitahumu. Lagi pula dia adalah seorang penasihat kerajaan. Jadi untuk masalah seperti ini seharusnya dia bisa menanganinya.” Jawab Tobi santai sambil memakan salah satu kue. Aku mendesah pelan. Aku sudah mendengar tentang penasihat kerajaan ini. Kudengar dia sangat cekatan dan bagus dalam menangani masalah kerajaan.
“Jadi, dimana aku bisa menemukan Nona Shizuka ini?” Tanyaku pada Tobi. Dia tersenyum dan menunjuk ke arahku. “Tobi, tidak ada waktu untuk bercanda.” Ucapku sedikit meninggikan nada bicaraku. Tobi mendesah. “Dia ada di belakangmu.” Bisiknya. Aku membalikkan badanku dan sedikit terkejut ketika menemukan Nona Shizuka berdiri sambil membawa catatan di tangan kanannya.
“Kudengar anda menyebut nama saya, yang mulia pangeran Arnulf. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya. Aku menatap Tobi. Kau yakin aku bisa mempercayainya? Tanyaku dalam hati kepada Tobi. Tobi mengangguk seakan dia bisa mendengar ucapanku tadi. Aku mendesah panjang. Kemudian aku mempersilahkan Nona Shizuka duduk dan menceritakan kejadian ketika aku berada di perpustakaan. Aku menceritakan panjang lebar karena menceritakan setiap detail kecil dalam kejadian itu. Kuharap itu bisa membantu nona Shizuka dalam menangani masalahku dan memberi solusi.
“Anda jelas sedang jatuh cinta, yang mulia. Dan karena sudah menjadi tugas saya untuk memberikan saran, jadi saya menyarankan kepada anda untuk memendam perasaan anda sampai anda cukup umur untuk menikah.” Ucap nona Shizuka spontan. Menikah! Aku bahkan belum memikirkan sampai ke sana! “Nona Shizuka, saya meminta maaf, tetapi saya bahkan belum memikirkan soal menikah. Bisakah anda memberikan saran yang..” “Lebih tepat untuk anak seumuran dia.” Sahut Tobi memotong kalimatku. Aku menatap Tobi kesal. Tobi menyengir.
“Anda bisa mengajaknya berbicara, mengajaknya berkeliling istana, atau mencari sesuatu yang sama-sama kalian sukai.” Ucap nona Shizuka. “Sama-sama kami sukai?” tanyaku. “Ya. Seperti membaca, mungkin? Anda bertemu dengan gadis itu di perpustakaan, bukan? Mungkin anda bisa memulai percakapan dengan membicarakan buku yang sering dibaca oleh gadis itu atau buku yang dia sukai. Saya rasa ini bisa berhasil, yang mulia.” Jawab nona Shizuka. Aku mengangguk dan tersenyum. Aku harus menyiapkan rencana besar untuk memikat hati gadis ini!
***
Keesokan harinya, aku pergi ke perpustakaan dengan pengawal. Aku datang sedikit lebih siang dari biasanya karena menunggu jawaban dari dua orang informan yang aku kirimkan untuk mencari tahu apakah gadis itu sudah datang atau belum. Rencanaku begini, gadis itu datang sebelum aku dan dia duduk di tempat yang dia inginkan. Kemudian aku datang, dan aku duduk di sampingnya. Nah, setelah itu aku hanya tinggal mengajaknya berbincang, kemudian mengajaknya berjalan-jalan, dan mengungkapkan perasaanku padanya. Mudah sekali, bukan?
“Yang mulia, gadis yang anda cari sudah berada di tempat. Dia duduk di dekat jendela di tempat duduk favorit anda.” Ucap salah satu informanku. “Siapkan Jeanett-ku. Aku minta kalian untuk berpura-pura menjadi warga biasa. Jangan terlalu mencolok. Biarkan dia hanya menatapku. Mengerti?” kataku. “Siap! Mengerti yang mulia!” ucap kedua informanku bersamaan sebelum mereka pergi.
Aku membenarkan rambutku sedikit lagi dan merapikan kerah bajuku. Kemudian aku menenangkan diriku dengan menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Aku keluar dari kamarku dan berjalan di lorong menuju aula kerajaan yang melewati kamar ayahku. Ketika aku melewati kamar ayahku hari itu, aku mendengar percakapan ayahku dengan seorang wanita. Suara itu bukan suara ibuku. Tetapi aku merasa pernah mendengar suara itu sebelumnya. Dan percakapan itu membuatku berhenti cukup lama di depan kamar ayahku.
“Anda yakin dia bisa menjadi raja yang baik? Menurut saya dia kurang dewasa. Bahkan masalah pribadinya saja dia belum bisa menanganinya.” Ucap wanita itu. Ayahku mendesah cukup keras hingga aku bisa mendengarnya. “Ya. Terkadang aku juga memikirkan tentang hal itu. Kurasa lebih baik jika aku memilih saudaranya saja.” Sahut ayahku. Mendengar perkataan ayahku itu membuatku sedikit terkejut dan penasaran. Apakah yang dibicarakan oleh ayahku adalah aku atau Tobi? Siapakah yang lebih ayah percaya untuk menjadi seorang raja? Aku HARUS membuat ayahku percaya bahwa aku mampu menjadi seorang raja.
“Baiklah. Yang selanjutnya terserah anda, yang mulia. Saya di sini hanya memberikan sebuah opini saja.” Ucap wanita itu. “Dan menurut saya, dia akan sangat kesal jika bukan dia yang anda pilih untuk menjadi raja. Saya bisa merasakan ambisi yang besar dari dalam dirinya.” Lanjutnya. “Ya. Aku tak akan memberitahukannya hingga waktunya tiba.” Jawab ayahku.
“Lho? Kau masih di sini, kak? Bukankah kau ada kegiatan siang ini? Dan di bawah kereta sudah menunggumu lho. Cepat pergi!” ucap Tobi yang tiba-tiba berada di sampingku. Aku harus menjadi calon raja yang ayah inginkan. Aku tak akan membiarkan Tobi yang menjadi raja. Aku akan lebih mendekati ayah dari pada bermain dengan Tobi. “Ya. Aku segera ke sana.” Jawabku dingin. Aku meninggalkan Tobi yang memasang wajah heran sendirian.
***
Aku datang ke perpustakaan hari itu dengan kereta kuda kerajaan yang paling bagus. Semua orang menatapku dan menunduk ketika aku menatap mereka. Mereka semua tersenyum kepadaku, dan beberapa juga memberikan makanan atau apapun yang bisa mereka persembahkan kepadaku. Aku pun menerimanya dengan senyuman yang terpaksa.
Aku masuk ke dalam perpustakaan dan berjalan ke arah tempat duduk itu. Aku meminta pengawalku mengambilkan buku yang biasa aku baca. Ketika aku sampai di tempat duduk itu, gadis itu menatapku dan tersenyum.
“Bolehkah aku duduk di sampingmu, nona?” tanyaku. “Tentu yang mulia pangeran, dengan senang hati.” Jawab gadis itu dengan senyuman. Aku duduk kemudian membuka salah satu buku yang dibawakan oleh pengawalku. Gadis-gadis lain di perpustakaan itu terlihat sangat kecewa dan cemburu karena aku memilih untuk duduk di dekat gadis ini, bukan mereka.
Baru saja aku membaca setengah halaman buku itu, salah satu pengawalku mendatangiku dan membisikkan beberapa informasi tentang gadis ini. “Yang mulia, nama gadis ini adalah Frieda Nathalee. Rupanya dia cukup populer di antara para pria di kerajaan ini. Keluarganya termasuk keluarga kelas menengah ke atas, dan ada salah satu pria yang cukup dekat dengan gadis ini, namanya Osvald Penrod. Dia juga cukup populer di antara para gadis. Anda akan terlibat dalam persaingan sengit, yang mulia.” Jelas pengawalku ini panjang lebar. Aku hanya mengangguk dan memintanya pergi.
Aku melirik ke arah buku yang dibaca oleh nona Nathalee. Rupanya itu buku Mein Reise, buku yang cukup terkenal di kerajaan ini. Buku itu menceritakan tentang seorang pria biasa yang mengembara mencari sebuah pena bulu emas yang dapat mengabulkan keinginan yang memegangnya. Dan buku ini ditulis oleh sepupuku sendiri, jadi aku tahu seluk beluk serta segala detail dalam buku ini. Sepertinya dewi Fortuna sedang menatapku saat ini!
“Anda juga suka buku tentang petualangan, nona..?” tanyaku berbisik sambil menengok ke arahnya. “Nathalee. Frieda Nathalee, yang mulia. Tetapi anda bisa memanggil saya Frieda saja. Dan, ya. Saya sangat suka buku tentang petualangan. Tetapi hanya petualangan yang melibatkan hal-hal yang berbau sihir.” Jawabnya. “Anda juga suka, yang mulia?” Lanjutnya. “Oh tentu saja! Aku selalu kemari untuk mencari buku tentang petualangan. Walaupun aku tidak begitu suka yang melibatkan hal-hal berbau sihir..” jawabku jujur. Frieda mengangguk tanda mengerti sambil tersenyum.
“Kau tahu, Frieda? Jika kau ingin bertemu dengan penulis buku ini tanpa proses yang panjang, kau bisa mengatakannya padaku.” Ucapku sambil tersenyum. Frieda menatapku dengan mata berbinar-binar. “Terimakasih yang mulia, anda sangat baik hati.” Jawab Frieda. “Apa lagi yang kau tunggu? Ayo!” ajakku. “Se..sekarang? Tetapi saya belum menyelesaikan buku ini, yang mulia.” kata Frieda. “Kau bisa menyelesaikan buku itu di perjalanan, Frieda.” Ucapku sedikit memaksa. “Baiklah kalau begitu. Terimakasih sekali lagi, yang mulia.” Ucap Frieda lembut. Aku menarik tangannya yang mungil dan lembut keluar perpustakaan. Jantungku berdebar begitu kencang ketika aku memegang tangannya. Rasanya aku tidak ingin melepaskannya.
Selama perjalanan ke rumah sepupuku, kami berbincang-bincang tentang banyak hal. Tentang masa kecil masing-masing, kehidupan kami, hingga rencana masa depan kami masing-masing. Segalanya terasa menyenangkan sampai Frieda melontarkan pertanyaan yang membuatku ingat akan perbincangan ayahku dan wanita itu di kamarnya. “Jadi, siapa yang dipilih oleh ayah anda untuk menjadi raja?” aku pun terdiam. Tidak ada suara selain suara roda kereta kuda yang terantuk bebatuan. “Maaf jika menyinggung anda, yang mulia.” Ucap Frieda segera setelah dia sadar bahwa itu bukan pertanyaan yang pantas untuk ditanyakan. Aku hanya tersenyum. Kemudian perjalanan yang awalnya penuh dengan tawa dan canda hening seketika.
Ketika sampai di rumah sepupuku, rupanya tidak menjadi semeriah yang aku bayangkan. Bahkan bisa dibilang terlalu hambar. Tidak ada canda tawa, hanya ada sedikit ulasan buku itu yang disampaikan oleh sepupuku. Tidak ada senyuman bahagia, hanya ada senyuman canggung antar penggemar dan orang yang digemari. Dan pertemuan itu berakhir begitu cepat serta dilupakan begitu cepat juga.
Perjalanan pulang pun ternyata hening juga. Aku berusaha mengutarakan satu kalimat lelucon, kemudian kami tertawa. Tetapi setelahnya kami terdiam kembali. Aku tidak suka keheningan canggung seperti ini. Itulah mengapa aku berusaha berbicara lagi. “Frieda, hari ini cukup menyenangkan. Maukah kau berkeliling istana besok? Aku akan menjemputmu di depan rumahmu.” Ucapku memecah keheningan. Frieda terlihat lega aku menanyakannya sesuatu. Dia tersenyum. Senyumannya begitu manis hingga aku melupakan percakapan ayahku dengan wanita misterius itu. “Tentu yang mulia, dengan senang hati.” Jawabnya.
Keesokan harinya kami berkeliling istana berdua. Kami berbincang dan bercanda layaknya pasangan muda. Aku memiliki firasat bahwa hubungan ini akan berjalan dengan baik walaupun tidak akan terlalu mulus. Aku menggenggam tangannya yang mungil dan lembut dengan erat dan terus berdoa bahwa hari-hari seterusnya akan kami lewati bersama.
***
Hari ini aku berjalan mengelilingi pasar kerajaan bersama Frieda. Tatapan-tatapan cemburu dan benci dengan jelas terlihat dari mata para gadis yang kami lewati. Namun aku tidak memperdulikan mereka semua karena Frieda sedang berada di sampingku. Senyumannya yang manis nan lembut bagaikan bunga mawar yang merekah di pagi hari membuatku melupakan masalah-masalahku.
“Yang mulia pangeran, pernahkah anda memakan sup kentang khas kerajaan ini?” tanya Frieda ketika kami melewati sebuah kios kentang yang berada di kanan kami. Aku menatap wajah putih Frieda yang terkena paparan sinar matahari pagi. Dengan senyuman yang lembut aku menggelengkan kepalaku perlahan. Frieda tersenyum. Kemudian dia menyuruhku untuk diam ditempat sebentar. Frieda langsung kembali ke kios kentang itu dan membeli satu mangkuk sup.
Ketika dia kembali, dia membawakan semangkuk sup kentang hangat dengan bau yang lezat dan asap yang masih mengepul-epul. Dia mengambil sesendok sup itu dan dia dekatkan sendok itu ke dekat mulutku. Secara otomatis aku membuka mulutku dan dia memasukkan sendok itu ke dalam mulutku. Aku sedikit malu ketika dia melakukan hal yang kurang enak dipandang ini di tengah-tengah pasar. Namun aku terlanjur terlena oleh harumnya sup kentang ini dan rasa panas yang menyentuh lidahku. Kuah sup yang hangat yang memiliki rasa rempah-rempah yang bermacam-macam serta kentang lembut yang langsung mengalir melewati kerongkonganku membuatku lupa akan dunia untuk sesaat. Jadi begitulah, Frieda tetap menyuapiku sampai sup ini habis. Aku sadar bahwa mata-mata yang menatap kami sedikit merasa jijik. Namun entah kenapa ketika bersama Frieda aku merasa dunia ini hanyalah milik kami berdua.
Kami kembali berjalan mengelilingi pasar itu setelah aku selesai makan. Kami berjalan masuk ke kota tua kerajaan. Kemudian kami melewati segerombolan pemuda yang berdiri di pinggir jalan. Aku sedikit curiga dengan tatapan mereka. Namun aku berusaha mengacuhkan mereka dan tetap bercanda sambil berjalan bersama Frieda.
Salah seorang pemuda berambut pendek dan berwarna coklat tua menatapku dengan tatapan yang sulit ditebak. Mata coklatnya terus mengikutiku. Aku khawatir jika sesuatu yang buruk akan menimpa Frieda, jadi aku menarik tangan Frieda dan mempercepat langkahku agar kami bisa segera pergi dari tempat ini.
Kami berjalan dengan cukup cepat hingga kami dicegat oleh sekelompok pemuda di depan sebuah stasiun tua yang terbengkalai. Jam dinding raksasa yang berada di atas pintu masuk ke dalam stasiun kereta itu berdentang keras menunjukkan pukul 12 tepat. Pemuda berambut coklat berwajah tanpa ekspresi yang sedari tadi menatapku keluar dari tengah-tengah gerombolan pemuda yang mencegat kami. Suasana menjadi sangat tegang. Aku menggenggam tangan Frieda dengan sangat erat. Wajah Frieda pucat pasi. Walaupun aku merasa aneh dengan ketakutan di wajahnya. Ketakutan di wajahnya berbeda dengan ketakutan orang yang sedang diancam namun tidak tahu apa-apa. Aku merasa Frieda tahu sesuatu tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Yang Mulia Pangeran, ketua kami ingin anda menemuinya.” Ucap lelaki berambut coklat itu. Aku kesal dengan mereka. Tidak disambut, justru disandera untuk datang menemui ketua kelompok mereka? Apakah seperti ini cara kalian menghormati putra mahkota kalian?
“Aku menolak.” Sahutku. Frieda menatapku dengan tatapan cemas. Wajahnya semakin pucat. Aku menggenggam tangan Frieda lebih erat. Lelaki berambut coklat itu melihat tangan kami yang bergenggaman, kemudian ia menatap ke arah Frieda. Wajah tanpa ekspresi pemuda itu langsung berubah menjadi wajah licik. Wajahnya langsung berubah drastis. Seolah-olah dia adalah pemuda yang berbeda.
“Nona Frieda, ajak sang Pangeran menemui ketua. Jika tidak, akan aku katakan pada sang Pangeran tentang dirimu yang sebenarnya.” Ucapnya sambil tersenyum licik. Frieda semakin ketakutan. Tangannya menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Dia menatap ke arahku dengan tatapan bingung. Aku semakin bingung dengan apa yang sedang terjadi. Apa maksudnya dengan diri Frieda yang sebenarnya? Apa yang dia sembunyikan dariku sebenarnya? Frieda menatap pemuda berambut coklat itu, kemudian kembali menatap ke arahku seolah dia bertanya kepadaku “Apakah aku harus membawamu, pangeran?”. Aku tersenyum kepadanya dan mengangguk pelan. Walau memang aku penasaran tentang apa yang dibicarakan pemuda itu, namun aku tidak ingin tahu jika Frieda tidak mau memberitahukan kepadaku. Jika memang Frieda ingin hal itu tetap menjadi rahasia, maka hal itu akan terus menjadi rahasia sampai ia memberitahukan kepadaku secara langsung.
Frieda maju ke depanku dan menarik tanganku. Lelaki berambut coklat itu tersenyum puas. Dia menepuk pundak Frieda dan membisikinya sesuatu. Frieda mengangguk, kemudian menatapku dan tersenyum sambil bergumam “Maafkan aku..” Aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan bingung.
Lelaki berambut coklat itu berjalan di depan Frieda menuntun jalan. Frieda berjalan di depanku sambil masih menarik tanganku.
To be continued....
0 comments:
Post a Comment